Banjir Berulang dan Intrusi Laut Lemahkan Ekonomi Rakyat Inhil
Jelang Musda VII, BPD KKSS Inhil Matangkan Persiapan hingga 75 Persen
Silaturahmi DPW PPP Riau, Sekjen DDII Soroti Politik sebagai Pengabdian Umat
Banjir Berulang dan Intrusi Laut Lemahkan Ekonomi Rakyat Inhil
SIBERONE.COM – Kerentanan ekologis di Kabupaten Indragiri Hilir terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Frekuensi banjir rob semakin sering, ketinggiannya makin besar, dan cakupan wilayah terdampak terus meluas. Kondisi ini telah mengganggu aktivitas harian masyarakat, merusak infrastruktur publik, dan menekan ekonomi daerah yang sangat bergantung pada komoditas kelapa. Di banyak titik pesisir, dampak krisis iklim sudah terasa sebagai ancaman nyata, bukan lagi prediksi ilmiah.
Namun krisis banjir di Indragiri Hilir tidak hanya terjadi di wilayah pesisir akibat banjir rob, melainkan juga meluas ke wilayah daratan akibat peningkatan intensitas curah hujan. Berdasarkan gambaran kejadian banjir tahun 2024, banjir akibat hujan tercatat terjadi di sejumlah kecamatan, antara lain Kemuning, Tempuling, Pelangiran, Keritang, Batang Tuaka, Reteh, Enok, dan Gaung. Pola ini menunjukkan bahwa risiko banjir di Indragiri Hilir bersifat menyeluruh, dari pesisir hingga wilayah hulu. Kondisi tersebut berlanjut hingga saat ini, di mana banjir hujan kembali dialami Kecamatan Kemuning, menegaskan bahwa perubahan iklim telah memperluas dan memperkuat kerentanan wilayah secara struktural.
Dalam konteks tersebut, Indragiri Hilir sejatinya telah memasuki fase krisis iklim yang semakin masif dan sistemik. Banjir rob, banjir akibat hujan ekstrem, abrasi, intrusi air laut, serta degradasi ekosistem pesisir dan lahan gambut tidak lagi berdiri sebagai kejadian terpisah, melainkan rangkaian risiko yang saling memperkuat. Kondisi ini menuntut langkah cepat, terukur, dan terencana untuk menghambat dampak yang berpotensi semakin buruk di masa depan. Sayangnya, hingga saat ini, belum terlihat adanya program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang benar-benar terencana, terdana, dan dijalankan secara lintas sektor di tingkat daerah.
Dalam situasi tersebut, upaya peremajaan perkebunan kelapa di Provinsi Riau mendapat dorongan dari pemerintah pusat melalui penyaluran bantuan bibit kelapa oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, yang mencapai sekitar 600 ribu batang. Tahap awal bantuan difokuskan untuk Kabupaten Indragiri Hilir dan Kepulauan Meranti, dengan rincian 352 ribu batang untuk Inhil dan 143 ribu batang untuk Meranti, belum termasuk stok cadangan 30 persen dari jumlah kontrak sehingga total keseluruhan mencapai sekitar 600 ribu bibit.
Bantuan ini disalurkan melalui kontrak dengan pihak pembibit lokal untuk memastikan kualitas bibit, dan diharapkan dapat membantu masyarakat meremajakan kebun kelapa mereka yang banyak mengalami kerusakan serta menurun produktivitasnya. Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk kehadiran negara dalam merespons persoalan kelapa rakyat.
Namun kondisi lapangan menunjukkan bahwa kerusakan kebun kelapa bukan semata persoalan umur tanaman atau kualitas bibit. Kerusakan tersebut merupakan akumulasi dampak perubahan iklim global mulai dari pemanasan, kenaikan muka air laut, hingga perubahan pola hujan ekstrem yang diperparah oleh faktor lokal seperti abrasi pesisir, intrusi air laut, serta degradasi ekosistem mangrove dan lahan gambut. Seluruh faktor ini secara signifikan menurunkan daya dukung lingkungan terhadap perkebunan kelapa rakyat.
Tanpa penanganan yang sistematis terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut, bibit yang ditanam hari ini berisiko besar menghadapi nasib yang sama dengan kebun-kebun yang rusak sebelumnya. Peremajaan kelapa, dalam konteks ini, tidak boleh dipahami semata sebagai program teknis pertanian, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka besar ketahanan iklim wilayah pesisir dan hulu Indragiri Hilir.
Dalam kerangka tersebut, dukungan Pemerintah Daerah terhadap pembangunan tanggul pengendali banjir rob dan banjir hujan menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan Program Peremajaan Kebun Kelapa Rakyat. Perlindungan fisik wilayah melalui tanggul tidak dapat dipisahkan dari upaya peremajaan kelapa, mengingat sebagian besar kebun kelapa rakyat berada di wilayah pesisir gambut dan dataran rendah yang semakin rentan terhadap genangan air asin dan banjir berkepanjangan.
Pembangunan tanggul yang direncanakan secara masif, berbasis peta risiko iklim, dan terintegrasi dengan tata kelola air kawasan akan berperan penting dalam menjaga bibit kelapa yang baru ditanam agar mampu bertahan hingga usia produktif. Tanpa sistem pengendalian air yang memadai, bibit kelapa berisiko mengalami stres lingkungan, pertumbuhan terhambat, bahkan kematian dini akibat intrusi air laut dan curah hujan ekstrem. Kondisi ini berpotensi menghambat capaian program peremajaan serta memperpanjang tekanan ekonomi yang dialami petani kelapa rakyat.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kerusakan kebun kelapa di Indragiri Hilir lebih banyak dipicu oleh kegagalan pengendalian banjir rob dan banjir hujan yang terjadi berulang, bukan semata faktor teknis budidaya. Oleh karena itu, pembangunan dan rehabilitasi tanggul perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim daerah, sejalan dengan peremajaan kelapa, restorasi mangrove, pengelolaan lahan gambut, dan penguatan ketahanan ekosistem pesisir maupun daratan.
Di sinilah urgensi kebijakan daerah menjadi sangat penting. Bantuan bibit merupakan intervensi teknis jangka menengah, tetapi Indragiri Hilir membutuhkan kerangka kebijakan strategis yang mampu menjawab akar persoalan krisis iklim. Daerah perlu segera menyusun Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang terukur, berbasis data ilmiah, dan relevan dengan karakteristik pesisir gambut serta wilayah rawan banjir hujan.
Regulasi nasional sejatinya telah memberikan landasan kuat. Perpres Nomor 98 Tahun 2021 menegaskan bahwa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim merupakan dua pilar utama strategi nasional penurunan emisi dan pengurangan risiko iklim, yang wajib diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah sebagai bagian dari pencapaian target NDC (Nationally Determined Contribution).
Sementara itu, Permen LHK Nomor 12 Tahun 2024 memberikan pedoman teknis penyusunan Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, termasuk penilaian risiko iklim, penetapan prioritas wilayah, serta strategi perlindungan ekosistem. Dengan dua regulasi ini, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk terus menunda penyusunan dokumen strategis tersebut.
Ketiadaan Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim berpotensi membuat berbagai program pembangunan berjalan parsial dan tidak berkelanjutan. Di tengah keterbatasan ruang fiskal daerah dan desa, setiap program baik peremajaan kelapa, pembangunan infrastruktur, maupun perlindungan wilayah pesisir dan hulu harus dirancang berbasis risiko iklim agar anggaran publik tidak habis untuk menambal dampak kerusakan yang berulang.
Pemerintah Pusat telah menunjukkan komitmen melalui berbagai upaya pembangunan, termasuk dorongan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat serta percepatan peremajaan kelapa rakyat. Upaya ini merupakan pijakan awal yang penting bagi penguatan ekonomi daerah.
Namun BDPN menilai bahwa langkah-langkah teknis tersebut belum cukup apabila tidak diimbangi dengan kebijakan lingkungan yang strategis, terukur, dan berbasis ilmiah. Krisis iklim yang telah nyata terjadi di Indragiri Hilir, baik di wilayah pesisir maupun daratan, menuntut kehadiran kebijakan yang mampu melindungi hasil pembangunan dari risiko ekologis yang terus meningkat.
Ketua BDPN, Zainal Arifin Hussein, menegaskan bahwa pembangunan ekonomi dan penyelamatan lingkungan tidak boleh berjalan dalam rel yang terpisah.
“Kalau kita ingin peremajaan kelapa berhasil, kalau kita ingin hilirisasi benar-benar memberi nilai tambah bagi masyarakat, maka fondasinya harus kokoh melalui Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang terencana, terukur, dan dijalankan lintas sektor,” ujarnya.
BDPN memandang bahwa keberlanjutan pembangunan di Indragiri Hilir hanya dapat dicapai apabila kebijakan ekonomi dan kebijakan iklim disinergikan secara sistematis. Pembangunan tanpa perlindungan ekologis pada akhirnya berpotensi melemahkan capaian ekonomi itu sendiri, terutama di daerah pesisir gambut dan wilayah rawan banjir hujan yang sangat rentan.
Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang kuat bukan sekadar pelengkap administratif, melainkan fondasi utama untuk menjaga keberlanjutan ekonomi kelapa rakyat serta melindungi masyarakat pesisir dan pedalaman dari risiko ekologis yang terus meningkat.
Dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang kuat, partisipatif, dan berbasis ilmiah, Indragiri Hilir memiliki peluang untuk keluar dari siklus kerentanan dan membuka jalan menuju pembangunan daerah yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.***
Narahubung :
Zainal Arifin Hussein | Bangun Desa Payung Negeri (BDPN)
082388554816 (WhatsApp)





Berita Lainnya
Malaysia sahkan UU Anti-Teror kontroversial
Penelitian buktikan kalau pria lebih narsis dibandingkan wanita
Koeman bertekad pertahankan Clyne dari godaan MU dan Liverpool
Mobil wartawan Tangerang dirusak, diduga aksi pencurian
Wardan Resmikan Pustu Tembilahan Hilir
Puskesmas Sungai Raya Menjadi Puskesmas ke 29 di Kabupaten Inhil Diresmikan Bupati Inhil
Malaysia sahkan UU Anti-Teror kontroversial
Penelitian buktikan kalau pria lebih narsis dibandingkan wanita
Koeman bertekad pertahankan Clyne dari godaan MU dan Liverpool
Mobil wartawan Tangerang dirusak, diduga aksi pencurian
Wardan Resmikan Pustu Tembilahan Hilir
Puskesmas Sungai Raya Menjadi Puskesmas ke 29 di Kabupaten Inhil Diresmikan Bupati Inhil