LP2D Laksanakan Webinar Perempuan Menguat Demokrasi Bersama Anggota DPD RI, DR Misharti


SIBERONE.COM - Lingkar Peduli Pemilu dan Demokrasi (LP2D) mengadakan forum diskusi bertemakan“Perempuan Menggugat Demokrasi” melalui Web-seminar platform Zoom. Diskusi tersebut dihadirkan oleh LP2D sebagai bentuk komitmen dalam memberikan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat umum dan khususnya perempuan.

Pada webinar tersebut,  hadir beberapa narasumber hebat di antaranya Dr Misharti SAg MSi (Anggota DPD/MPR RI asal Riau),  Mustiqowati Ummum Fithriyyah (Akdemisi), FItri Heriyanti (Bawaslu Kota Pekanbaru), dan Yenni Mairida (KPU INHU).  Diskusi juga dihadiri oleh kaum perempuan yang memiliki latar aktivis perempuan yang saat ini masih aktif ikut serta dalam social movement yakni Sarinah Liza Afriani (GMNI Pekanbaru), Kohati Sartika Dewi (HMI Cabang Pekanbaru), Immawati Adilla Nafisah (DPD IMM Riau), Sahabati Sri Pituti (Kopri PKC PMII) dan Sri Ok Suryani (BPP PW KAMMI Riau).

Alpin Jarkasi Husein Harahap selaku Koordinator Umum LP2D pada sambutan menyampaikan bahwa webinar yang bertema “Perempuan Menggugat Demokrasi” merupakan hasil tinjauan faktual yang selalu menghadirkan soal bila dibenturkan dengan perundangan dan regulasi. Keterwakilan perempuan dalam kursi pengambil kebijakan selalu saja masih menagih perwujudan konkrit terkait dengan peran dan ruang bagi perempuan. 

Menurutnya, partisipasi perempuan dalam menyalurkan aspirasi politik  melalui pemilihan cukup signifikan di bandingkan dengan laki-laki sementara jumlah kuantitas laki-laiki lebih dominan dibandingkan perempuan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan representasi perempuan. 

"Inilah yang mendasari kenapa LP2D membuka forum diskusi “perempuan menggugat demokrasi”. Semoga dengan hadirnya forum diskusi ini mampu melahirkan gagasan dan rekomendasi kepada publik akan pentingnya mewujudkan peran aktif dari perempuan, " singkatnya

Yenni Mairida dalam paparannya mengatakan bahwa dari berbagai studi menunjukkan aktivitas politik perempuan masih tergolong marginal atau bahkan tidak ada sama sekali di banyak Negara. Bahkan, untuk perwakilan perempuan dalam lembaga legislatif  di berbagai negara jika di rata-ratakan baru mencapai angka lima belas persen (15%). Kaum perempuan melalui kebijakan afirmasi (Affirmative Action 1995). Menurutnya, perempuan mempunyai peluang dan kesempatan yang besar untuk berpartisipasi dalam dunia politik yang tidak hanya sebagai penggembira yang selama ini terjadi. 

"Affirmative Action  merupakan kebijakan khusus dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan memberi peluang lebih besar bagi perempuan untuk meraih jabatan public dan birokrasi. Dalam konteks penyelenggara, perempuan hadir bukan hanya untuk memenuhi 30% keterwakilan perempuan, namun untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, mandiri, professional dan Transparan. Semakin banyak perempuan yang berpendidikan dan memiliki kesadaran akan pentingnya perempuan terjun ke dunia politik untuk berpartisipasi, maka akan membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera," cakap Yenni Mairida

Sementara senator berparas cantik,  Dr Misharti SAg MSi dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa keterwakilan perempuan dalam legislatif sangat menentukan dan sangat diharapkan. Namun, dalam keterlibatan perempuan dalam ranah-ranah politik, walaupun dalam affirmasi yang diberikan pemerintah masih sangat kurang baik itu dalam ranah DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi maupun DPR RI. Saat ini,  ada 7 provinsi yang tidak ada keterwakilan perempuan salah satunya yakni Provinsi  Ria meskipun di kursi DPD RI Riau cukup membanggakan dengan angka persentase (34 %). 

Beliau juga menyampaikan keprihatinan nya terhadap keterwakilan perempuan bahwa faktanya angka partisipasi perempuan lebih tinggi dibandingkan laik-laki. Harapannya, ini menjadi koreksi dan evaluasi untuk kaum perempuan terkait dengan kenyataan yang ada dan terjadi. 

"Perlu diketahui bahwa demokrasi tanpa perempuan tidak bisa di katakan demokrasi karena keterlibatan perempuan merupakan hal yang sangat krusial dan harus kita perjuangkan, " ucapnya 

Narasumber lainnya,  Mustiqowati Ummul Fithriyyah dalam materinya manyampaikan pandangan yang mengsubordinatkan perempuan muncul diakibatkan oleh kontruksi sosial yang cukup mapan bahwa laki-laki itu kuat dan perempuan lemah. Hal itu kemudian mempengaruhi posisi perempuan dalam keterlibatan diruang publik. 

Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2012-2014 menunjukkan tren “Semakin tinggi posisi jabatan di birokrasi bahwa jumlah perempuan semakin sedikit”. Hal tersebut,  artinya posisi jabatan yang tinggi masih dominan di isi oleh laki-laki. Riset Puskapol (2012) Jabatan struktural birokrasi di 34 kementerian menunjukkan karir perempuan PNS, pejabat structural mandek pada jenjang terbawah, jelas bahwa proporsi laki-laki dan perempuan cenderung timpang. 

"Hanya 22,38% jabatan struktural di isi oleh perempuan. Dalam sistem politik yang di dominasi oleh laki-laki. Meskipun perempuan telah mempunyai hak yang setara (equal right) untuk memilih dan dipilih namun tidak menjamin kepentingan permpuan diperhatikan dengan baik," ulasnya

Oleh karena itu, lanjutnya,  perempuan harus hadir untuk mengawal kepentingan(Politics of presence). Strategi penguatan perempuan dalam ranah politik perlu diperjuangkan tentang implementasi kuota perempuan yakni 30% persen tersebut harus di penuhi oleh perempuan. 

"Untuk pengharus utamaan gender (PUG) dalam ranah kebijakan publik harus ada di dalam semua program-program kerja pemerintah serta terintegrasi  di seluruh tingkatan SKPD seperti RPJMD, RKP dan sebagainya. Dan untuk mempercepat PUG tersebut harus Memperkuat jejaring collaborative governance  dengan konsep pentahelix.  Penta helix, yaitu kekuatan pemerintah, kekuatan komunitas/masyarakat, kekuatan para akademisi, kekuatan dunia usaha, dan kekuatan media untuk bersama-sama mewujudkan PUG, " tandasnya 

Sementara, Fitri Herianti menyampaikan, bahwa hari ini kita berada dalam iklim demokrasi prosedural. Dengan itu, kita berharap demokrasi yang substantif kedepannya karena sangat perlu upaya-upaya keterlibatan kaum perempuan misalnya, menjadi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilihan, dalam konteks pengawasan partisipatif yang ada. Hal tersebut dilindungi oleh undang-undang guna memastikan proses pemilhan yang jujur, adil bersih dan transparan serta hasilnya bisa di terima oleh semua pihak baik peserta pemilu maupun masyarakat secara luas. 

"Ruang pengawasan pastisipatif tersebut bisa dimaksimalkan oleh kaum perempuan untuk mengikutsertakan nya dalam proses perubahan politik, " tutupnya

Pandangan penanggap yang di minta oleh panitia menyampaikan akan penting nya untuk membangun sensitivitas gender. Bahwa demokrasi bukan milik laki-laki melainkan demokrasi milik bersama dan maskulin bukan hanya laki-laki tetapi equal. Karena hingga saat ini persoalan perempuan masih atas dasar perfektif gender (cara pandang yang belum tuntas) masih beranggapan bahwa pekerjaan perempuan itu hanya didapur, ngurusin anak dan hanya laki-laki saja yang mencari nafkah. 

Politik affirmasi 30% untuk kuota perempuan hingga hari ini masih belum terpenuhi dan dapat kita lihat langsung di Provinsi Riau keterwakilan permpuan hanya 12 orang di kursi parlemen. 

Perempuan hari ini masih sedikit di ranah birokrat maupun pemerintahan, bisa saja masalah demikian ditimbulkan karena krisis kepercayaan, kenapa?Karena kuota 30% kuota di legislatif juga tidak menjawab persoalan-persoalan perempuan. Sekedar contoh, di Riau angka kematian Ibu masih meningkat, putus sekolah juga meningkat, kekerasan terhadap perempuan juga meningkat bahkan kalau di lihat dari sektor lingkungan. 

Hal tersebut di anggap sebagai catatan serius bagi perempuan di kursi senanyan. Kami juga tidak menutup mata terkait dengan kasus-kasus (korupsi) yang dilakukan oleh perempuan terlebih pesta demokrasi dilakukan ditengah pendemi covid-19 disebabkan karena kondisi krisis ekonomi, sosial dan lingkungan akan mempengaruhi pemilih dalam memutuskan pilihan politik nya (money politik). Yang lebih kami soroti lagi penyelanggara pemilu (KPU) membenarkan paggelaran musik (konser) sebagai media kampanye meskipun dengan syarat pembatasan jumlah peserta yang hadir. Ditambah lagi hal tersebut semakin menggila pasca di informasikan oleh kemenkes RI bahwa Provinsi Riau merupakan paling tinggi penyumbang rekor pasien terpapar covid-19 se Pulau Sumatra dan nomor 5 secara nasional.

Hal tersebut menjadi problem, jangan sampai  pesta demokrasi namun juga masyarakat terdampak corona meningkat dan ujung nya akan menyengsarakan masyarakat ekonomi menengah kebawah.

Pendidikan politik yang dilakukan berbelakang ini cenderung ekslusif karena hanya melibatkan kalangan birokrat,partai politik, NGO, OKP dan mahasiswa. Seharusnya, pendidikan tersebut sampai kepada masyarakat akar rumput sehingga perfektif gender itu bisa dipahami dengan komprehensif. 

Kecederungan terkait tugas dan tanggung jawab perempuan hanya di kasur, sumur dan dapur. Melakukan hal untuk mengubah mindset tersebut tidak akan mampu dipahami hanya oleh perempuan namun juga laki-laki yang menjadi aktor utama untuk pemenuhan kuota 30% itu ada di partai politik. Oleh karena itu partai politik perlu melakukan revitalisasi politik untuk mengembalikan fungsinya yang berkaitan dengan pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik hingga rekruitmen politik.  

Sehingga nantinya, masyarakat memahami bagaimana berkehidupan politik yang baik, kecenderungan partai politik yang terjadi hadir ketika pesta demokrasi menghitung hari sehinggga fungsinya sebagai partai politik terabaikan. Partai politik semestinya harus mempersiapkan kader-kader potensialnya untuk di mandatkan oleh partai politik. Sehingga trust  masyarakat terbangun dengan melihat figur-figur yang dicalonkan oleh partai politik.
Mencapai hal itu,  perlu wadah untuk pengembangan intelektual bagi perempuan


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar