Refleksi dan Resolusi Oleh : SADAN (Pemerhati Sosial dan Pendidikan)


SIBERONE.COM - Pada akhir minggu ini viral pada beberapa media tentang penahanan Bupati Bandung Barat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus penyalahgunaan dana penanganan Covid-19. Penahanan tersebut merupakan ujung dari tahapan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sejak beberapa waktu lalu. Kenyataan pahit yang dihadapi oleh masyarakat Bandung Barat ini merupakan kali kedua, setelah beberapa tahun sebelumnya, bupati terdahulu harus mengakhiri jabatannya dengan ujung yang unhappy ending, harus berurusan dengan aparat KPK.
Fenomena terjeratnya pimpinan daerah dalam wilayah penyalahgunaan wewenang, terutama terkait dengan kasus korupsi sudah sering didengar dan disaksikan melalui media informasi. Puluhan bupati, walikota, bahkan gubernur telah secara inkrah diputus untuk menghadapi konsekwensi dari perbuatannya masing-masing melalui kejelian aparat KPK yang melakukan pemantauan dalam rentang waktu yang tidak sebentar terhadap berbagai tindak korupsi yang terjadi di wilayah pemerintahan.
Karena kecepatan penyampaian informasi melalui media konvensional yang didukung oleh media mainstream, penetapan tersangka terhadap Bupati Bandung Barat pun telah menimbulkan gejolak dan kegaduhan pada sebagian besar masyarakat. Hal itu ditandai dengan saling menyalahkan satu dengan lainnya—saling ejek dan saling hujat antara pihak satu dengan pihak lainnya pun tidak terelakkan. Bahkan, ada pula lontaran keinginan dari beberapa pihak untuk terus melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang berada pada pusaran kekuasaan, dengan harapan bahwa tindak korupsi dimungkinkan dilakukan oleh banyak orang, bukan oleh bupati dan dua orang lainnya yang telah turut dinyatakan sebagai tersangka. 
Menyikapi kasus yang menjeratnya kali ini—dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah—yang harus dilakukan oleh masyarakat bukanlah saling hujat dan saling ejek terhadap pihak-pihak yang berseberangan—hujatan lebih banyak dialamatkan kepada bupati dan para simpatisannya karena saat ini mereka merupakan pihak yang terpojokkan dengan adanya kasus tesebut.
Sebagai gambaran telah terbentuknya kedewasaan bersikap dan bertindak dari masyarakat yang memiliki perhatian terhadap laju berkembangnya roda pemerintahan adalah melakukan refleksi dan resolusi. Refleksi dilakukan untuk melihat berbagai kejadian di belakang tentang proses keterpilihan bupati yang dianggap telah berbuat tidak elok dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Ini bisa dimaknai bahwa selama ini masyarakat telah terkecoh lontaran jargon-jargon kampanye yang konon memiliki keberpihakan terhadap upaya penyejahteraan masyarakat. Sedangkan resolusi dilakukan untuk merencanakan langkah ke depan berdasarkan hasil refleksi tersebut. Ini dilakukan dalam upaya lebih mengedepankan kehati-hatian dan kejelian dalam penentuan sikap saat berlangsungnya pilkada yang akan menetapkan pimpinan pada masa datang. Untuk menetapkan putusan, harus dilakukan telaahan jeli terhadap track record sehingga sosok yang didukung untuk menempati pucuk pimpinan merupakan orang yang benar-benar memiliki ketulusan guna bersama masyarakat meraih kesejahteraan dengan tanpa melakukan penyimpangan. Langkah pada upaya untuk dapat mengetahui track record setiap orang-perorang, saat ini tidaklah susah karena semua kiprah yang dilakukan terdokumentasikan dalam jejak digital.
Langkah melakukan refleksi dan resolusi dipandang sebagai upaya lebih bijak yang harus dilakukan, daripada terlarut dalam pergumulan saling menghujat dan menyalahkan di antara masyarakat. Hujatan yang terlontar hanya akan melahirkan dendam kesumat pada pihak yang berlawanan, sehingga dapat menimbulkan niatan melakukan balasan. Langkah refleksi dan resolusi menjadi satu upaya nyata dari masyarakat untuk mendukung jalannya roda pemerintahan yang akan datang sehingga tidak terjerumus lagi pada lubang yang sama.
Upaya awal yang paling urgen dilakukan saat ini adalah mendorong masyarakat untuk melakukan pengawalan terhadap perkembangan pemerintahan pada satu dan dua tahun ke depan. Hal itu perlu dilakukan karena pucuk pimpinan akan beralih sampai dengan pelaksanaan pilkada mendatang. Pengawalan terhadap keberlangsungan pemerintahan di bawah komando pucuk pimpinan baru, harus dilakukan agar penyimpangan tidak terulang kembali.   
Kejadian yang menimpa bupati, pada dasarnya merupakan tamparan telak bagi masyarakat karena perhelatan pilkada yang diselenggarakan dan diikutinya belum mampu memilih pimpinan yang relatif berintegritas dalam menjalankan kebijakan pemerintahan. Kedua bupati yang tersandung kasus korupsi tersebut merupakan bupati yang terpilih melalui proses pilkada pertama dan kedua—selama berdirinya, masyarakat Bandung Barat baru dua kali berperan serta dalam pilkada. Nahasnya, bupati yang terpilih pada kedua pilkada ini tersandung dengan masalah korupsi dan keduanya harus berurusan dengan aparat KPK.
Kenyataan terjeratnya bupati tersebut menjadi tamparan kedua kali terhadap masyarakat dan pemerintahan Kab. Bandung Barat. Fenomena tersebut merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi dan harus dipandang sebagai ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Sekalipun demikian, upaya ke depan yang harus dilakukan adalah menjauhkan diri dari tamparan selanjutnya.
Karena itu, jangan sampai tertampar untuk yang ketiga kali atau seterusnya karena dengan dua kali tamparan yang telah dialami, rasanya sangat menyakitkan. (HS)


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar