Seleksi Pemimpin Daerah, Lepaskan Sejenak Jebakan Politik Popularitas, Identitas dan Pundi Modal

Ahmad Tamimi (Anggota Bawaslu Kab. Indragiri Hilir)

SIBERONE.COM - Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Indragiri Hilir ke depan, terhitung masih  lama, hampir separuh waktu dari priode Bupati dan wakil Bupati yang sedang berjalan (2018-2023), namun gejolak politik berupa diskusi warung kopi sudah sedemikian meriah. 

Wacana pengusungan bakal Calon dari beberapa figur yang sudah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat saat ini. 

Muasal Perbincangan ini belum diketahui secara persis apa yang menjadi penyebab, apakah karena minim dan lemahnya progres pembangunan daerah saat ini, atau persoalan lemahnya leadership atau barangkali memang sudah menjadi kelaziman saat-saat seperti ini mulai star penjaringan balon. Namun, pada hakekatnya dinamika politik memang seyogyanya tetap bergulir dan mengalir harapan dan pemerintah ini ada. 

Tentang dinamika yang berkembang tentu tidak layak bagi saya untuknya terlalu jauh apalagi masuk ke lorong-lorong sensitif seperti mengukur kinerja dan kejantanan kepemimpinan yang ada dalam mengelola pembangunan.

Tentang ini cukup diserahkan ke para intelektual menengah untuk mengukur, menilai hingga ke mengkritik bersama masyarakat terkait berhasil atau tidaknya. Karena sesungguhnya daerah adalah harta bersama, jadi semua orang berhak ikut campur dalam proses pembangunan, ini yang disebut dengan pembangunan partisipatif yang juga menjadi inti dari ide dasar demokrasi yaitu keterlibatan rakyat. 

Merespon dinamika yang berkembang saat ini saya lebih memfokuskan kajian pada masalah pendidikan politik masyarakat. Dalam demokrasi, respon terhadap estafet kepemimpinan ke depan ataupun proses kepemimpinan yang sedang berjalan sesungguhnya menjadi pertanda bahwa proses seleksi kepemimpinan itu sedang berjalan dan ini baik untuk sebuah iklim demokrasi politik. Sebab, seleksi kepemimpinan merupakan sebuah proses aktif sepanjang waktu pemerintahan itu ada ataupun saat roda pemerintahan itu berjalan, melewati tahap mengamati, memahami hingga melahirkan penilaian soal kelayakan. Penilaian terhadap figur-figur mainsream sekaligus menjadi komparasi dengan yang sedang berjalan lalu menghasilkan yang terbaik. 

Seleksi kepemimpinan ini akan menjadi baik bila masing-masing individu mau menyempatkan diri untuk peduli dan tahu keadaan. Menilai perkembangan di segala aspeknya, mengukur antara cinta-cita janji dan harapan. Dalam konteks ini dibutuhkan adalah pemahaman. Makanya Azyumardi Azra mengatakan bahwa demokrasi lansung akan tumbuh subur serta dapat mewujudkan hasil yang baik apabila pendidikan warganya memadai, dalam arti ilmu dan kesadarannya terus aktif mengikuti, mengontrol untuk perubahan pembangunan kearah yang lebih baik sesuai nurani dan akal sehat. 

Oleh karena itu, selain seleksi kepemimpinan adalah proses aktif, maka pendidikan politik masyarakat juga sebuah proses aktif, yang dilakukan secara lansung maupun tidak untuk menghasilkan perubahan paham, paradigma hingga ke kultur yang lebih baik.

Ending yang diharapkan nantinya adalah, pertama; menjadi warga aktif dalam rangka berpartisipasi terlaksananya Pilkada sukses, aman dan damai. Kedua; menjadi pemilih partisipatif, berupa komitmen untuk datang ke TPS dan memberikan pilihan terbaik sesuai dengan nurani dan akal sehat untuk kemaslahan bersama sehingga menghasilkan pemimpinan (output) berkualitas.

Untuk menghasilkan pemimpin berkualitas sesungguhnya tidak cukup untuk memahaminya hanya sebatas beberapa saat sebelum tahapan maupun di masa tahapan berjalan, tapi butuh rentang waktu yang begitu panjang. Sebab, pemimpin itu dilahirkan juga dalam proses rekayasa sumberdaya dan keadaan, bukan semata rekayasa popularitas dan identitas seperti kebanyakan dilakukan, akhirnya figur yang muncul cenderung dipaksakan hanya dengan memenuhi kualifikasi keuangan dan bukan kualifikasi kepemimpinan. 

Sementara masyarakat berharap lahirnya sang transformator agar bisa menjawab persoalan dan punya alternatif jawaban. Namun, mereka disuguhkan dengan hidangan mentah lalu dipaksa untuk makan lewat hukum sistem.

Keadaan ini sesungguhnya membutuhkan inisiatif-aktif masyarakat dalam sadarnya memikir dan merangcang sosok pemimpin harapan itu. Maka, terkait celoteh warga di media sosial merupakan sikap positif untuk pendidikan politik, selama yang dibicarakan adalah soal kepemimpinan ideal, pembangunan dan perubahan ideal sesuai apa yang dijanji serta diharapkan. 

Walau sekalipun mempertanyakan proses kepemimpinan yang sedang berjalan, selama masih berada dalam koridor etis dan rasional ini adalah bagian dari pendidikan politik dan pendewasaan demokrasi. 

Setiap penilaian baik adalah konsekuensi baik dari hasil kerja yang baik, sebaliknya penilaian buruk merupakan konsekuensi buruk dari hasil kinerja yang buruk. Untuk itu, berkualitaslah, sebab segalanya adalah tren seleksi kepemimpinan paripurna untuk mewujudkan masyarakat cita ke depan dan ini sangat diperlukan.

Dalam rangka peningkatan tren seleksi kepemimpinan ke depan, sikap selektif-aktif penuh inisiatif masyarakat begitu dibutuhkan seperti, setidaknya selalu memperhatikan tentang grafik perubahan dalam kaitanya dengan soal kualitas kepemimpinan. 

Maka suatu yang tak terelakkan adalah pertanyaan kenapa kesejahteraan dan perubahan ini begitu lamban terjadi, keampuhan formulasi gagasan program, komitmen terhadap program, efektifitas dan efisiensi dari program terhadap capaian pembangunan selama proses berjalan. Segala rekam jejak (track record) ini tentu menjadi titik renung bagi warga tentang sosok kepemimpinan kedepan. 

Bagi yang sedang menjabat tentu menjadi penentu terkait dengan tiket untuk masuk ke arena kontestasi kedepan. Maka, titik ukur itu sesungguhnya terletak pada soal fungsi dan dari fungsi ini dapat dijadikan patokan dalam menilai dan menjaring kepemimpinan masadepan bukan semata status atau posisi. Sebab, status atau posisi tinggi bila tidak mampu difungsikan secara baik dan tepat juga akan melahirkan kekecewaan dan cemoohan. 

Maka, terkait dengan semaraknya pembahasan di jendela media sosial dalam merancang dan mendiskusikan tentang sosok kepemimpinan daerah ini ke depan terlepas apapun orientasi dan niat itu di beberapa minggu ke belakangan ini turut mengapresiasi. 

Walau priode pemilihan kepala daerah ini masih terbilang lama, tapi masyarakat telah terjun aktif mengamati, berpikir dan merespon hal ini secara serius. Karena sesuangguhnya pemimpin itu lahir tidaklah secara serta-merta, atau titipan karena faktor yang sangat praktis-pragmatis, tapi melewati proses atau rekayasa sumberdaya dan keadaan lalu baru dilihat dari respon untuk dinilai lebih riil. 

Sekian tahun sudah berdemokrasi, saatnya meningkatkan tren seleksi kepemimpinan kepala daerah ini kedepan. Lepaskan sejenak jebakan paradigma politik popularitas, identitas dan pundi modal, ke tiga hal ini sangat nyata telah menjadi objek rekayasa sosok dan bukan rekayasa sumberdaya kepemimpinan yang mumpuni mampu menjawab persoalan. 

Pemimpin butuh kualitas leadership, ilmu dan akal. Jadi sesungguhnya siapa pemimpin itu adalah bagaimana paradigma masyarakat yang ada hari ini, beransur mari bersama dewasakan alam pikir demokrasi politik bermula dari kaum terdidik, semoga dalam aktif terkandung nilai edukatif untuk mencerdaskan masyarakat, karena pendidikan masyarakat masih rendah. 

Jika para intelektual menengah kurang sadar dan diam maka mereka yang punya hak pilih akan menggunakan pilihannya sesuai dengan apa yang mereka pahami dan butuhkan tanpa panduan pengetahuan. 

Dalam konteks inilah pendidikan politik itu harus terus digalakkan. Semoga lewat usaha sadar bersama melalui instrumen pemilihan lansung dapat menitipkan sosok pemimpin untuk membawa perubahan lewat cara yang mencerdaskan. Sesi kedepan barangkali kita perlu mendiskusikan lebih lanjut bagaimana transparansi mekanisme Partai dalam menetukan pilihan kandidat sesuai aspirasi rakyat.


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar