Ribuan Driver Ojol Demo di Kementerian Perhubungan


SIBERONE.COM – Kaum driver Ojek Online (Ojol) melakukan aksi menagih janji ke Menteri Perhubungan yang sejak tiga tahun lalu menjanjikan payung hukum terhadap Ojol itu.

Aksi menagih janji yang diprakarsai Paguyuban Transportasi Indonesia (Patra Indonesia) dan Laskar Malari ini berlangsung, Rabu (5/1/2022) di depan Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat.

Dalam aksi tersebut diikuti sekitar 5 ribu orang yang berasal dari berbagai daerah. Yakni dari Lampung, Bali, Demak, Tegal, Karawang, Bandung, Banten dan Jabodetabek. 

Mereka berasal dari berbagai aplikator, mulai dari driver Gojek, Grab, Shoppee dan lainnya. Sebagian besar para driver ini datang ke lokasi tidak menggunakan seragam perusahaan operator-aplikator, melainkan menggunakan atribut komunitas mereka.

“Perjuangan Patra Indonesia bersama puluhan komunitas Ojol dari berbagai daerah adalah perjuangan moral,” kata Anton, Ketua Umum Patra Indonesia dalam orasinya.

Anton menjelaskan, sebenarnya upaya menagih janji payung hukum ini sudah sering dilakukan. Baik melalui aksi unjuk rasa, melalui surat, bahkan menghadap langsung ke para pemangku kepentingan. 

Tapi kita tidak tahu apa alasannya, sehingga sampai hari ini Ojol dibiarkan menjadi sarana angkutan liar. 

“Tidak ada aturan yang melindungi. Sehingga Ojol bisa disebut angkutan yatim-piatu, atau malah bisa dibilang angkutan liar,” paparnya di tengah massa unjuk rasa. 

Di tempat yang berbeda, pengamat Ojol, YS Widada menjelaskan, status Ojol dalam konteks hubungan industrial, sangat lemah. 

Nasib Ojol ini lebih buruk dibanding buruh pabrik.

"Buruh pabrik masih dilindungi oleh ‘Tri Partit’, ditambah ada jaminan hak-hak buruh lainnya. 

Sedangkan driver Ojol,  tidak punya atau mendapat hak apa-apa selain biaya angkutan yang mereka terima.  Itupun dipotong 20 persen oleh perusahaan aplikator,” papar YS Widada yang juga penasehat Patra Indonesia itu. 

Lebih jauh dijelaskan, “Ojol ini sangat rentan. Ia bekerja tanpa hak suara misal dalam penentuan tarif, dalam penentuan besaran potongan,” lanjutnya. 

Masih kata YS Widada, Ojol juga bekerja tanpa perlindungan. Tidak ada aturan pembatasan jam kerja, tidak ada hak cuti,  tidak ada asuransi kesehatan, tidak ada asuransi ketenagakerjaan. Bahkan tanpa THR di hari raya.

Lalu payung hukum yang diharapkan seperti apa?  

“Silahkan dibahas antara Pemerintah dengan pihak DPR jika itu menyangkut Undang-Undang. Tapi hendaknya  dibahas dulu lintas sektoral/Kementerian untuk hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Ojol sebagai pekerja,” lanjutnya. 

Widada juga mencatat adanya ketidakjelasan terminologi dalam penyebutan Ojol. Dalam hubungan perusahaan dengan pekerja, Ojol ini disebut sebagai mitra. bukan sebagai pekerja. 

“Sebenarnya sebutan mitra ini mengandung pengertian yang bagus. Mitra itu mencerminkan adanya kesetaraan, adanya mutual-partnership, adanya mutual benefit. Tetapi di lapangan, yang terjadi itu justru hubungan eksploitatif oleh perusahaan aplikator terhadap Ojol.

Dalam aksi demo menagih janji ini, para komunitas juga menyampaikan orasinya. Terutama berisi keluhan, curhatan, bahkan ada juga yang menumpahkan kekesalannya. 

“Kami juga menyampaikan kritik kepada kinerja Menteri Perhubungan. Ada 11 cacat kinerja Menteri Perhubungan,” kata Handoko, salah seorang peserta aksi dari Bekasi. (Yanto)


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar