Sempat Dikabulkan Gugatan Kenaikan Iuran BPJS, Kini MA Menolak


SIBERONE.COM - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Berdasarkan putusan ini, kenaikan iuran BPJS yang berlaku mulai Juli 2020 tetap berlaku.

Dikutip dari laman MA di Jakarta, Senin (10/8), uji materi yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu diputus pada 6 Agustus 2020 oleh Hakim Agung Supandi, Yodi Martono Wahyunadi, dan Is Sudaryono. Gugatan ini adalah yang kedua yang pernah diajukan oleh KPCDI.

Sebelumnya, MA pernah mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan KPCDI dan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Namun, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang secara substansi mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan lagi.

Pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan secara bertahap pada bulan Juli 2020, kemudian pada bulan Januari 2021, sementara peningkatan tarif peserta mandiri dengan manfaat perawatan kelas III disubsidi oleh Pemerintah.

Berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, Pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp42 ribu mulai Juli 2020. Namun, peserta cukup membayarkan iuran sebesar Rp25.500,00 karena sisanya sebesar Rp16.500,00 disubsidi oleh pemerintah pusat, sesuai dengan Pasal 34 Ayat (1) Perpres.

Pada hari ini, pihak MA menerangkan alasan menolak gugatan KPCDI atas dasar MA menilai besaran iuran yang ditetapkan secara berkala dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 sesuai perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.

"Alasan MA menolak permohonan tersebut, antara lain bahwa besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro melalui pesan singkat, Rabu (12/8).

MA juga memandang penetapan besarnya iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 telah memperhatikan mandat yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk itu, perpres tersebut dinilai tidak bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Kesehatan.

"Lagi pula Pasal 48 UU Nomor 40 Tahun 2004 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS," tutur Andi Samsan Nganro.

Ketua Umum KPCDI Tony Samosir menyayangkan putusan MA yang menolak uji materi Perpres 64 Tahun 2020. Menurutnya, putusan itu menutup pintu KPCDI untuk mengajukan kembali uji materi atas kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan yang memberatkan masyarakat kurang mampu.

"Kami sebagai pasien cuci darah, terutama yang kurang mampu tetapi tidak masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), tentu akan merasakan dampaknya. Apalagi, Perpres 64 Tahun 2020 juga menaikkan denda keterlambatan membayar menjadi 5 persen,” ujar Tony dalam keterangannya, Rabu (12/8).

Apalagi, lanjut Tony di tengah pandemi Covid-19 dan menurunnya daya beli masyarakat, putusan MA tersebut tentu sangat mengecewakan. Apabila gagal bayar iuran BPJS Kesehatan, berakibat kartu BPJS Kesehatan tidak aktif. Sementara, pasien harus bayar sendiri proses cuci darahnya dan pengobatan lainnya.

Tony menambahkan, kalau orang sehat tidak punya uang bayar iuran, mereka tidak memiliki risiko apa pun di kesehatannya. Berbda dengan pasien kronis atau pasien gagal ginjal yang kurang mampu, mereka akan menghentikan terapi tersebut.

"Fakta sudah membuktikan, dua kali atau lebih pasien tidak cuci darah nyawanya melayang," cetusnya.


Dengan ditolaknya gugatan uji materi tersebut, maka KPCDI akan melakukan berbagai langkah lainnya. Pihaknya akan menagih janji Komisi IX DPR RI sesuai kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada awal Desember tahun lalu yang menjanjikan akan mendesak Kementerian Sosial untuk memasukkan pasien cuci darah dalam kategori PBI, karena pasien dianggap sudah tidak produktif dan rentan PHK karena sakit.

“Kami juga menyerukan peningkatan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Sudah tidak ada lagi cerita obat-obatan dan pemeriksaan laboratorium yang tidak dijamin bahkan dikurangi pelayanannya. BPJS harus segera berbenah diri," tutupnya.

Sumber : Republika.co.id


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar