Maulana Maghribi, Ulama Penyebar Ajaran Islam di Pantura


SIBERONE.COM - Perkembangan agama Islam di tanah Jawa, tak lepas dari peran Syeikh Subakir, seorang ulama besar yang mendapat amanah khusus dari Sultan Al Fatih, penguasa Kesultanan Turki Usmani.

Bersama Syeikh Subakir turut serta beberapa ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke Nusantara dengan mengendarai beberapa kapal. Tanah Jawa yang beratus-ratus tahun kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, membuat para ulama bekerja keras.

Namun karena belum begitu maksimal dalam menyebarkan agama Islam, maka Sultan Al Fatih kembali mengutus ribuan ulama dari Maroko. Dari puluhan ulama tersebut akhirnya dapat menyebarkan ajaran Rasulullah ke beberapa kawasan pantura, seperti Ujungnegoro, Wonobodro, Pemalang bahkan ke Jawa Timur.
Saat ditemui di ruang kerjanya, Ahmad Zaroh, Penghulu KUA Kecamatan Kandeman membeberkan kiprah dari Syeikh Maulana Maghribi. 

“Perlu diketahui, Maghribi bukanlah sebuah nama seseorang, melainkan sebuah klan atau marga dari Maroko. Salah satu ulama yang berhasil menyebarkan ajaran Islam ke Pantai Ujungnegoro, Desa Kandeman, Kabupaten Batang adalah Syeikh Maulana Maghribi,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (28/4/2021).

Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya maka masyarakat setempat memperingati Khaul bagi Syeikh Maulana Maghribi yang dilaksanakan tiap 15 Safar yang turun temurun dari nenek moyang terdahulu di makamnya yang disemayamkan di atas bukit tepi Pantai Ujungnegoro, Desa Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang.

“Ajaran Rasulullah yang dibawanya membawa dampak positif yakni budaya keislaman yang sangat kental, bagi warga Desa Ujungnego dan sekitarnya,” jelasnya. 

Bahkan dampaknya merambah ke dunia pendidikan. Pasalnya para ulama bersama warga setempat mendirikan Madrasah Tsanawiyah bernama MTs. Maulana Maghribi.
Ketua Pengurus Makam Syeikh Maulana Maghribi Tugiyo mengungkapkan, beberapa kegiatan keagamaan secara rutin dilaksanakan masyarakat setempat bahkan dari luar daerah pun berziarah langsung ke makam yang telah dipugar beberapa kali agar mempermudah peziarah dalam memanjatkan doa kepada Allah SWT.

“Kegiatan rutin yang sering digelar tiga kali dalam sepekan. Yakni hari Jumat, Sabtu hingga Minggu dini hari jamaah menggelar tahlilan dan istighosah,” katanya.

Namun berbeda ketika ada peziarah yang datang pada hari-hari tertentu, seperti pada momen selapanan. Biasanya mereka datang di hari Minggu Legi dan malam Jumat Kliwon dengan memanjatkan doa dan zikir melalui ratibul haddad.
Bahkan khusus di malam Jumat Kliwon banyak dikunjungi peziarah dari luar daerah, di antaranya Kota Malang, Brebes, Tegal.

Sedangkan khaul yang diselenggarakan tiap tahunnya di bulan Safar dimulai sejak tanggal 11, 12, 13, 14 dan puncaknya 15 Safar.
“Peziarah yang datang hingga ratusan tiap pekannya. Khusus saat peringatan khaul bisa mencapai ribuan,” tuturnya.

Jika diperhatikan bahkan setiap bulannya terdapat sembilan bus yang membawa peziarah dari berbagai daerah.
Peziarah secara umum ketika memanjatkan doa hanya 5-10 menit. Tetapi terkadang ada pula peziarah yang mempunyai hajat tersendiri, dapat memanjatkan doa selama tiga hari, bahkan ada yang 100 hari.
Bagi peziarah yang telah usai berzikir maupun istighosah, sering kali mengambil air yang berasal dari mata air. Sebelum mengambil air, peziarah diminta untuk membaca basmalah lalu mengucapkan niat untuk kebaikan.

Terkadang bagi sebagian orang yang percaya, air tersebut dapat membawa kesembuhan bagi mereka yang menderita penyakit.
“Awal pandemi Covid-19 bulan April 2020 lalu, 

makam sempat ditutup untuk umum selama tiga bulan. Namun setelah Habib Lutfi bin Ali bin Yahya beristighosah bersama perangkat desa, maka makam dibuka kembali untuk peziarah, dengan menerapkan protokol kesehatan,” tegasnya.

Menurut Habib Lutfi makam ini diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin memanjatkan doa kepada Allah.
Protokol kesehatan diterapkan secara ketat, mulai dari tempat cuci tangan di pintu gerbang. Peziarah juga diminta memakai masker dan menjaga jarak saat berada di lingkungan makam.

Sementara menurut juru kunci Kasturi bin Sodri (60), peziarah mulai meramaikan makam Syeikh Maulana Maghribi, sejak tahun 1960-an. Sebelum diadakannya khaul oleh Habib Lutfi, warga setempat menggelar nyadran, yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.

Banyaknya jamaah dan peziarah yang datang merupakan bentuk tawasul melalui para wali, namun tetap memohon segala sesuatu kepada Allah SWT. (Nang/Tok)


[Ikuti Siberone.com Melalui Sosial Media]



Tulis Komentar