Membangun Generasi Pemimpin

Sabtu, 11 Juli 2020

Ahmad Tamimi (Anggota Bawaslu Kab. Indragiri Hilir)

SIBERONE.COM - Ikhtiar membangun generasi pemimpin perlu terus digiatkan untuk memastikan agar segenap anak muda benar berproses menempa diri. 

Ikhtiar ini adalah sebuah cara membangun harapan baru agar lahirnya pemimpin baru. 
Saat stok kepemimpinan di kalangan tua dipandang mencapai limitasi waktu dan energi masa produktifnya maka kekuatan alternatif harus diaktifkan untuk membangun generasi penerus yang punya nilai lebih agar bisa tawarkan harapan bukan beban. 

Terlebih tantangan persoalan kedepan semakin kompleks perlu jiwa-jiwa pejuang dari generasi tangguh untuk hadapi kenyataan, bila tidak berikhtiar maka akan dapat diprediksi kita akan sulit beranjak satu langkah kedepan.

Kenapa daya muda perlu dibangun, selain alasan potensi segar yang dimiliki juga tuntutan atas realitas yang tak terelakkan bahwa rotasi kepemimpinan oleh sebab hukum ruang dan waktu dari peran kaum tua ke yang muda menjadi sesuatu keharusan. Maka, upaya mengaktifkan daya muda supaya berdayaguna perlu disegerakan dan dipertegas, agar kekuatan yang dijual tidak hanya bermodalkan usia dan gaya tapi juga keberdayaan untuk memberdayakan. 

Oleh karena itu, menggantungkan harapan pada pundaknya bukan hanya sebatas usia dan gaya, tapi juga daya, daya fitrah yang dimanipestasikan Tuhan pada dirinya. Manifestasi dalam arti perwujudan ide, konsep, pemikiran serta cita-cita sehingga mampu sumbangkan manfaat untuk orang banyak. Daya manfaat  itu akan muncul bila potensi senyap dalam diri terus diperas menjadi potensi ril hingga bernilai guna menjawab persoalan, artinya ada proses rekayasa sumberdaya yang terukur, rasional dan etis telah dilewati sebagai prasyarat sebelum terjun ke-arena pengabdian. 

Gambaran konkrit dari sosok generasi pemimpin harap itu adalah dari segi pemikiran ia pemikir, mampu melahirkan gagasan segar yang berbasis pengetahuan untuk merespon persoalan, dan gagasan konsep tersebut dioperasikan dalam wujud perubahan melalui power kepemimpinannya. Maka setingan generasi yang dibutuhkan disini selain soal kecerdasan intelektual juga kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual akan melahirkan gagasan konsep, dan kecerdasan emosional berupa kemampuan  mengelola, menggerakkan dan mempengaruhi lewat berbagai seni dan pendekatan untuk perubahan.

Oleh karenanya, sosok pemimpin itu butuh yang cerdas di antara yang cerdas, terlebih persoalan yang dihadapi begitu kompleks dan tanggungjawab yang diemban sangat luas, otomatis butuh daya yang besar (pikiran dan leadership) agar bisa tuntaskan persoalan untuk wujudkan harapan banyak orang. Sebab, segalanya akan bergantung pada cara berpikir dan keputusan cerdasnya selaku nahoda harapan, andai tidak berkualitas jelas akan menjadi petaka yang mengerikan bagi semua. 

 


Maka, untuk merebut kekuasaan tidak boleh lepas dari pertimbangan kelayakan seperti yang kita bincangkan ini. Hari-haripun kita menyaksikan pergelutan hasrat orang-orang bertungkus-lumus untuk menjadikan dirinya pemimpin dari wadah yang sederhana hingga ke strukural birokrasi dan politik. Seperti momen-momen pergantian kepengurusan organisasi-organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan, paguyuban, adat bahkan keagamaan terlebih jabatan politik tanpa dibarengi oleh sikap tau dan ukur diri. Tren dari paradigma umum yang berkembang kenapa posisi harus direbut , karena umumnya mereka memandang pemimpin itu lebih ke soal eksistensi, kasta dan wadah loncatan struktural-politis. 

Padahal pemimpin itu bukanlah soal status, pemimpin juga bukan soal strata dan gaya, tapi pemimpin itu adalah soal fungsi dan fungsi itu akan dapat berjalan jika ia punya daya, tidak bisa hanya sebatas mengaduk hasrat semata. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh seorang filosof asal Jerman Nietzche, menurutnya ada satu hasrat yang tidak pernah padam dalam diri manusia yaitu hasrat untuk berkuasa, saat ini kita sedang dipertontonkan dengan prilakuk kejar status dan posisi tapi tapi lupa mengukur diri. Akibatnya banyak organisasi mati suri secara massal di daerah ini tanpa terlihat fungsi.

Oleh karena itu, dalam mencari dan memilih atau mengajukan diri untuk menjadi pemimpin orang banyak diperlukan ukuran kemampuan sebagai tanda bahwa nurani dan akal sehat kita telah bekerja dengan baik, artinya ada tolok ukur rasional-etis. Seperti karakter moralnya, kafasitas intelektualnya serta kemampuan leadershipnya, ada gagasan yang jelas dan tegas tentang persoalan yang ada serta alternatif jawaban darinya. Sebab jadi pemimpin itu tidak cukup hanya baik dan jujur saja tapi juga harus paham persoalan serta punya akternatif jawaban.

Untuk  melahirkan generasi pemimpin, selain kesadaran untuk senantiasa memproses diri agar memenuhi kualifikasi di atas juga butuh perhatian bersama terutama dari kaum tua. Diharapkan sikap lebih untuk menatap beberapa waktu dan tantangan kedepan, buang sikap abai, didik dan perhatikan mereka, karena waktu akan hentikan segala posisi secara ikhlas tanpa sedikitpun perlawanan, dan pada saat yang sama posisi itu otomatis akan berpindah. Oleh karenanya dalam upaya membangun karakter dan pemahaman untuk generasi harapan diperlukan dialog aktif lintas generasi untuk regenerasi sekaligus sebagai alarm persiapan bahwa kita ingin hidup lebih baik kedepan lewat tangan-tangan kekuasaan dari kaum muda cerdas dan terbina. 
 
Kitapun mafhum bahwa tradisi pemahaman tentang lahirnya sosok pemimpin di lingkungan ini masih menggunakan paradigma alami, bahwa seakan-akan sosok pemimpin yang lahir hanya soal undian takdir, atau jatah mereka keturunan ekonomi mapan atau keturunan elit penguasa dan bangsawan, seakan-akan kita tidak perlu letih memikirkan apalagi menyiapkannya. Padahal banyak keturunan elit penguasa dan keturunan kaya tapi antara mereka belum punya daya lebih untuk tampil memimpin orang banyak, hari ini sekaan golongan ini secara serta merta dianggap layak, padahal perlu diuji. Asbabul wurut dari cara pikir seperti ini perlu dicerdaskan karena bermuasal dari cara pikir orang-orang yang kondisi ekonomi lemah atau cara pikir yang lemah pula.

Sesungguhnya dialog tentang ini telah mengalami perdebatan panjang dari para pakar, ada yang berpandangan pemimpin itu lahir oleh faktor keturunan dan ada juga pendapat bahwa lahirnya pemimpin itu dari hasil perkaderan. Lahirnya jiwa kepemimpinan itu tidak cukup hanya soal bakat keturunan sebagaimana yang dijabarkan oleh teori Genetis, tapi juga dalam teori Sosial butuh pembentukan lewat rekayasa sumberdaya yang terarah seperti Nabi Muhammad merekayasa kepemimpinan para sahabat-sahabat yang siap tempur di medan perang. Tentang ini diakomodir lebih bijak dalam teori ekologis/ sintesis bahwa ia melihat bahwa pemimpin baik itu selain soal bakat juga butuh proses pendidikan sadar yang terencana. Oleh karena itu, perhatian dan bimbingan serta arahan dari kaum tua sangat diperlukan. 

Hemat saya, untuk melahirkan pemimpina  muda yang baik itu kita bisa memfungsikan segala bentuk wadah yang ada seperti Organisasi Kepemudaan, Kemahasiswaan, kemasyarakatan, paguyuban, budaya dan organisasi keagamaan yang hirarkinya sudah bersifat nasional. Manfaat praktis dari wadah seperti ini adalah bisa melatih kecerdasan emosional seseorang terkait dengan bagaimana ia berpikir dan mengadaptasikan sikap dan hasil pikirannya terhadap yang lain, membangun kerjasama dan kepedulian, berkomunikasi dan mempengaruhi sesuai dengan porsi dan persoalan sehingga menjadi pribadi yang bijak, dewasa dan demokratis.

Disamping aktif di wadah-wadah seperti itu juga harus berjalan seiring dengan kegiatan literasi untuk mempertinggi paham dan wawasan teoritis guna menjawab persoalan, wawasan keilmuan begitu diperlukan sebab, segala ide, sikap dan keputusan harus punya landasan berpikir yang jelas dan tegas, tidak bisa hanya berpikir sebatas halusinasi dan tebak solusi semua berdasar olah pikir dan kajian. Gambarannya adalah tugas manusia menjawab masalah dari fakta dan fenomena yang ada, menyelesaikannya dengan cara mengawinkan fakta-fenomena itu dengan teori dan pengalaman yang dipahami supaya dapat kesimpulan jawaban yang tepat. Maka kalau ia tidak punya pemahaman tentang realitas persoalan dan prinsif-prinsif umum jawaban akan berpeluang terjadi sesat sikap hingga sesat keputusan. Oleh karena itu, dalam keseharian sesuangguhnya tidak ada paham dikotomi (pemisahan) antara teori dan fakta, keduanya saling beriringan.

Inilah beberapa catatan sederhana sebagai tawaran jalan untuk melahirkan pemimpin muda dalam aktivitas keseharian dengan terus berproses kembangkan potensi diri lewat berbagai wadah dan kesempatan penuh perhitungan terutama menikmati setiap masa proses yang dilalui. Tantangan terbesar anak muda saat ini adalah kemampuan menunda kesenagan sesaat, menghabiskan waktu lewat tanpa perhitungan, rutin tampil tapi hanya dalam gaya dan statusnya semata tidak dengan fungsi pikiran merespon persoalan. Semoga beberapa waktu kedepan pikiran pembangunan kaum muda segera dapat ditampilkan memeriahkan susanana sekaligus sebagai tanda bahwa mereka ada dan berdaya.